Suatu hari di
tahun 1992, satu tahun sebelum ayah saya kembali menghadap Sang Khalik, saya
terlibat pembicaraan yang cukup serius bersamanya. Saat itu kami di rumah
sakit, dan saya sedang kebagian tugas jaga. Percakapan hari itu adalah percakapan intensif antara ayah dan anak
perempuannya, seolah2 dia tahu waktunya mendampingi saya tinggal sejenak saja. Meskipun didiagnosa sebagai penderita kanker hati, secara fisik
ayah memang tidak
terlihat seperti pesakitan. Semua organ tubuhnya masih bekerja dengan baik,kecuali levernya. Saat itu usia saya 21 tahun, masih tercatat
sebagai mahasiswi sebuah universitas. Adrenalin masih deras mengalir, emosi tentunya
masih ibarat roller coster,jiwa
pemberontak kadang masih meletup-letup. Usia dimana saya menemukan berbagai
pengalaman batin,bersua dengan
berbagai karakter manusia, bertemu beragam masalah dan
berhadapan dengan bermacam-macam konflik. Di kemudian hari saya menyebut usia 20an sebagai periode pengayaan batin. Lalu ayah saya ujug-ujug berkata, "Kamu sudah berusia 21
tahun.Harusnya sudah tahu mana yang baik dan buruk, sudah mengerti mana yang
benar dan salah. Jadi, apapun tindakan kamu, harus mampu menunjukkan KEDEWASAAN
kamu.Sekolah yang benar ya nak.."
DEG!..Ayah yang biasanya tak banyak bicara,
malam itu berbicara sesuatu yang sangat mendalam. Pesan itu terngiang hingga
kini. Ternyata
menjadi dewasa is simply to understand
well how to choose the right or wrong. Hmm...apakah hanya sebatas itu ?..tentu saja tidak. Kalimat yang terucap memang
sederhana. Tapi maknanya bisa bersaing dengan dalamnya samudra. Itu hanyalah sebuah permulaan..hanya sebuah
awal yang menjadi dasar moral tuk menghadapi dunia yang sesungguhnya.Benar-Salah-Baik-Buruk. Konsep mulia
yang membedakan antara : pilihan untuk tetap bertahan dengan sifat
kekanak-kanakan,bangga dengan emosi yang meledak-ledak a la usia pubertas atau sikap
yang mencerminkan seseorang adalah manusia dewasa. Inilah modal untuk berhadapan dengan realita
hidup yang sesungguhnya. Dimana kefanaan akan menyelimuti,dan suara nurani kan
acap timbul tenggelam. Demikianlah, dalam
perjalanan hidup kemudian, saya bersyukur karena dikaruniai orang tua yang
telah mengajarkan akhlak dan moral. Karena dalam hidup, terbukti betapa
pentingnya kita mengerti tentang baik dan buruk, salah dan benar. Tak
berlebihan bila ini menjadi sebuah mandatory,
dan diharapkan semakin bertambah usia semakin khatam lah kita dalam memahami
dan menghayatinya.
Di usia 21 tahun, saya diberi ‘wasiat dan mantra sakti tersebut. Meskipun
saat itu terus terang saya berusaha mengalihkan pembicaraan dan mencoba tak
ambil pusing. Bukan tak mau mendengar, tapi lebih karena suasana kemudian
membuat saya jadi mellow dan mengharu
biru karena kata-kata ayah seolah menjadi rentetan dari pesan-pesan yang
semakin sering diucapkannya di tengah-tengah deritanya sebagai pasien kanker.
Seolah itu adalah bagian dari pertanda-pertanda
yang disampaikan kepada keluarganya bahwa ia tak kan sempat mendampingi saya
hingga saya dewasa nanti. Memang benar, beliau kembali ke pangkuan Tuhan,
setahun kemudian, beberapa bulan setelah usia saya menginjak angka 22 tahun.
Kata-kata itu terus menari-nari di kepala,bahkan setelah belasan tahun
sejak kepergiannya kembali ke surga.Puji Tuhan kalimat tersebut senantiasa menjadi sensor nurani saya dalam bertindak. Di tengah
keraguan, kalimat tersebut tiba-tiba muncul seperti bubble kalimat di dalam buku komik. Meredam emosi, mengetuk
jiwa,meremas hati dan mendinginkan kepala. Tiap kali saya melanggar, hati
nurani pun tercabik-cabik,gelisah tak bertepi menggayuti jiwa raga dengan beban
rasa bersalah. Sebaliknya,semakin saya menuruti untuk bersikap baik dan benar, serta
mengabaikan keraguan dan ketakutan akan resikonya, keberanian itu tiba-tiba
memeluk dan langkah ini tak sanggup berhenti. Kebenaran yang erat digenggam
itu, ternyata memberikan energi yang luar biasa dan meringankan setiap langkah
dalam menjalani kehidupan. Memang, tidak ada yang mudah dalam hidup. Apalagi
ketika logika, perhitungan manusia dan rasionalitas mendominasi. Namun dengan
modal kalimat dari almarhum ayah, sejauh ini selalu mampu menggedor nurani dan
menjadi cahaya yang memandu saya dalam melangkah. Terima kasih ayah.Kadang saya masih merindukan
kalimat-kalimat bijak versi beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar