Selasa, 23 Oktober 2012

Memahat Emas Kehidupan

Setelah kepergian ayah tercinta, hidup saya berjalan normal seperti manusia dewasa pada umumnya. Saya pun memiliki hubungan yang intens dan sangat indah dengan ibu. Saya berhasil memenuhi harapannya untuk lulus kuliah, mendapat pekerjaan yang baik dan mampu mandiri.Tentu saja, saya tak lekang dari ragam masalah,baik di kehidupan profesional maupun pribadi. Saya semakin sering berhadapan dengan realita bahwa segala sesuatu dalam kehidupan seringkali tak sesuai dengan harapan (Pelajaran terbesar adalah ketika berharap Tuhan memberi kesembuhan bagi ayah tapi yang terjadi justru Tuhan memanggilnya ke surga). Namun semua berhasil dilalui dengan baik dan memperkaya khasanah kebijaksanaan. Tentu saja, semua tidak terjadi secara instant. Tapi berkat bimbingan ibu, saya pun akhirnya mengerti makna dari kutipan sebuah ayat kitab suci, ‘Terjadilah Padaku Menurut PerkataanMu’.Ibu memang guru kehidupan dan pembimbing iman yang luar biasa. Menjadi contoh yang baik,hanya itu yang dilakukannya ketika memberi pelajaran hidup kepada saya. Istilah kerennya, Leading by Example. Tak hanya itu, wanita cantik dan pintar yang dengan konsisten mengajarkan kemandirian itu selalu menanggapi dengan bijak semua pandangan-pandangan saya tentang Tuhan. Dengan sabar dan penuh kasih,ia menjawab pertanyaan saya tentang Tritunggal Maha Kudus, dan dalam kesehariannya, ia menjadi wanita yang setia meneladani hidup Bunda Maria. Pada akhirnya, tak pernah habis kekaguman saya akan keimanan ibu tercinta terutama dalam menjalani kehidupannya sejak ayah tidak ada.

Di tengah kerinduannya melihat saya naik pelaminan, ibu semakin khusyuk memohon pada Sang Pemberi Kehidupan agar saya segera bertemu jodoh. Doanya terjawab tepat pada waktunya. Maksudnya tepat adalah, tepat saat saya mencapai usia kepala 3, tepat karena rasanya saya benar-benar telah jadi dewasa, tepat karena akhirnya saya bertemu dengan laki-laki seiman yang memiliki pemikiran yang sama tentang sebuah hubungan dan perkawinan , tepat ketika keyakinan untuk menikah itu memeluk hati kami. Sekali lagi, kutipan sebuah ayat ‘Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya,’ terbukti kebenarannya. Bila bukan ibu yang mengajarkan saya untuk selalu bersandar pada waktunya Tuhan, mungkin saya akan sembrono dalam menjalani langkah hidup saya.

Singkatnya, saya menikah dengan laki-laki pilihan saya, ibu memberikan restu dengan penuh haru.Apalagi melihat calon menantunya memiliki nilai hidup yang sama dan punya kemiripan sifat dengan ayah saya.Jelas,ia bahagia melihat putri bungsunya menikah. Namun, baru 3 tahun kami membangun bahtera rumah tangga, bahkan belum mempersembahkan seorang cucupun kepadanya, ibu menyusul ayah, kembali ke pangkuan Bapa di surga. Maka, lengkaplah status saya sebagai yatim piatu. Tampaknya ibu (dan Tuhan) percaya saya sudah dewasa, sudah siap mengarungi ziarah kehidupan tanpa kehadiran fisik orang tua. Sementara saya menghadapi kejadian itu dengan perasaan tak menentu. Ini adalah kehilangan terbesar setelah kepergian ayah. Sedih? Pastinya. Marah kepada Tuhan ? Sempat. Tidak ada yang siap kehilangan orang tua, bahkan ketika di usia dewasa atau pun tua sekalipun. Tapi sekali lagi, ajaran ibu pun mengingatkan saya, Fiat Voluntas Tua, Terjadilah Padaku Menurut PerkataanMu. Kemarahan saya sedikit demi sedikit luruh dan Tuhan pun memberi kejutan dengan menitipkan janin di rahim saya, dan lahirlah seorang anak perempuan yang cantik,cucu ayah ibu yang mengantarkan kebahagiaan baru,mengisi kekosongan hati karena ditinggal ibu.. Dan sekali lagi, Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.’

Menjadi yatim piatu, menghantar saya menjadi pewaris .Tapi bukan warisan materi yang banyak ditinggalkan, tapi warisan kekayaan batin yang berlimpahlah yang jauh lebih bernilai. Bila ayah mewariskan wasiat ‘mantra sakti’, ibu mewarisi saya pengetahuan untuk mengimplementasikan’mantra tersebut dalam kehidupan. Ia tak kenal lelah ‘menempa’ saya agar saya menjadi orang dewasa yang baik. Ternyata tak mudah menjadi dewasa (itulah mengapa dunia anak-anak selalu identik dengan kegembiraan). Saya pun berusaha keras untuk hidup dengan baik dan benar di tengah gempuran godaan dan ujian hidup yang terus menerus hadir , menguji ketegaran dan tak jarang menggerus keyakinan. Setiap kali berada di titik terendah, saya ingat kata-kata ibu, “Du Courage (Beranilah!). Hidup ini ibarat sebuah bongkahan emas. Pahatlah bongkahan emasmu agar menjadi karya yang indah”. Memang benar, emas yang tak dipanaskan, tak akan bisa dibentuk apalagi dipahat, dan akhirnya akan tetap menjadi bongkahan emas. Analogi ini cukup menjadi sumbu api yang tak pernah padam dan terus mengobarkan api semangat di dalam jiwa.

Tanpa disadari, tempaan kehidupan mengantar saya untuk semakin fasih berlapang dada, berjiwa besar dan makin terlatih untuk menerima kenyataan yang sering kali tak sesuai harapan. Bak seorang atlit, jatuh bangun saat latihan dan bertanding menjadi satu-satunya hal yang pasti karena kemenangan dan kekalahan nyatanya bukanlah ilmu pasti. Saya pun menemukan, kemenangan hidup adalah ketika kita bisa mengendalikan dan mengalahkan diri kita sendiri dalam situasi apa pun. Padahal, mengendalikan amarah, kebencian,memaafkan dan menerapkan ikhlas ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan.Hingga kini pun saya belum khatam menjalankannya. Namun terlepas dari ketidaksempurnaan saya sebagai manusia (karena toh saya bukan malaikat), paling tidak dengan menerapkan mantra dari ayah dan menjalani ajaran ibu, Puji Tuhan saya terhindar dari kelakuan kriminal atau pun kejahatan, baik kejahatan fisik,rohani maupun kejahatan intelektual.Fiuh! Boleh dikatakan berkat ayah dan doa ibu dari surga, membuat hidup saya penuh rahmat yang menguatkan.

Saya hanya berharap, semoga selama 40 tahun hidup saya ini ,saya telah memahat kehidupan dengan benar dan menjadi dewasa sesuai ajaran mereka. Bongkahan emas ini memang belum menjadi karya yang indah, masih banyak bagian yang harus dipahat, diukir dan dipoles agar bersinar. Tapi semoga, saat ini, emas ini bukanlah hanya sebongkah emas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar